Peningkatan Pemahaman Siswa Dalam Materi Kalkulus Dengan Menulis Oleh : Noraini Idris. ABSTRAK.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki efektivitas dari
penggunaan kegiatan menulis terhadap pemahaman dan prestasi siswa pada
materi Kalkulus. Desain penelitian ini adalah kuasi-eksperimental. Subyek penelitian ini terdiri dari dua sekolah menengah di salah satu negara bagian di Malaysia. Setiap
sekolah dibagi menjadi dua kelompok, satu sebagai kelompok eksperimen
dan lainnya sebagai kelas kontrol. Kelompok eksperimen belajar
matematika dengan kegiatan menulis selama lima minggu, sedangkan
kelompok kontrol belajar matematika dengan menggunakan model belajar
matematika secara konvensional secara penuh. Jumlah tes Kalkulus
dirancang dengan 20 item, dengan reliabilitas sebesar 87. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kelompok eksperimen menunjukkan perbaikan
prestasi belajar kalkulus yang lebih signifikan dibanding kelas kontrol.
Para siswa di kelas eksperimen menunjukkan reaksi positif pada manfaat
menulis. Temuan penelitian ini memberikan informasi kepada sekolah
tentang efktivitas kegiatan menulis dalam meningkatkan pemahaman siswa.
Kata Kunci : Kalkulus, Menulis, Pemahaman, Prestasi, Siswa
PENDAHULUAN
Belajar matematika adalah sebuah proses
yang kompleks dan dinamis. Kita pasti ingin siswa memahami informasi
yang disajikan kepada mereka, juga ingin siswa memahami informasi yang
mereka temukan sendiri. Tapi, apa sebenarnya yang kita maksud dengan
istilah ‘paham’? Memahami tidak hanya berarti mengingat konsep-konsep
matematika atau juga kemampuan untuk mengikuti prosedur. Memahami dalam
pembelajaran matematika membutuhkan lebih dari sekedar mengingat fakta
sederhana. Perkins dan Blythe (1994) mendefinisikan pemahaman sebagai
kemampuan untuk menjelaskan, menemukan bukti dan contoh, melakukan
generalisasi, menerapkan, menganalogikan, dan menjelaskan masalah dengan
cara yang baru. Pembelajaran saat ini tidak lagi menekankan pada
kebenaran jawaban akhir melainkan telah bergeser ke arah proses,
konteks, dan pemahaman siswa. Setiap topik dalam matematika memiliki
pemahaman konseptual dan penguasaan keterampilan tersendiri yang harus
dipelajari oleh siswa. Pembelajaran matematika dalam rangka memberikan
pemahaman pada siswa bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan
bagaimana cara berpikir dan membuat keputusan (Allen, 1992; Borasi &
Rose, 1989, Burton & Morfa, 2000; Countryman, 1992; Noraini, 2007).
Dalam proses belajar matematika, guru perlu memberikan perhatian lebih
untuk memastikan siswa tidak hanya memahami konsep-konsep matematika
namun dapat berkomunikasi dan menjelaskan kepada orang lain apa yang
telah mereka mengerti (NorainiIdris, 2000, 2006, 2007).
Guru matematika selalu berharap siswanya
dapat memahami apa yang telah diajarkan, bukan hanya menerima fakta
atau sekedar menerapkan prosedur untuk mendapatkan jawaban atas
pertanyaan (Kazemi, 1998). Oleh karena itu, penekanan baru dalam
pengajaran matematika tidak difokuskan hanya pada jawaban akhir. Konsep
belajar telah bergeser kepada konteks dan pemahaman yang ditunjukkan
oleh siswa. Dalam hal ini, menulis dipandang sebagai salah satu cara
untuk mendorong pemikiran kritis dan mendalam dalam diri siswa siswa,
refleksi dan evaluasi pemahaman mereka. Menulis merupakan salah satu
kegiatan yang dapat dijadikan mekanisme untuk menilai pemahaman
matematika siswa (Artzt & Armour-Thomas, 1992; Brown, 1997;
Countryman, 1992; Noraini, 2006; Pugalee, 1997, 2001).
Dalam usaha ini, siswa tidak hanya
belajar untuk memecahkan masalah namun lebih pada berpikir mendalam
tentang mengapa metode yang digunakan tersebut dapat memberikan solusi.
Selain itu, kegiatan menulis juga akan mendorong siswa untuk
menghubungkan konsep baru dengan yang konsep sudah ada. Hal ini berefek
pada pemahaman matematika secara mendalam tidak hanya pada tingkat
instrumen tetapi pada pemahaman relasional dan logis.
Skemp (1976) menyatakan bahwa untuk
memahami konsep, sekelompok konsep atau simbol adalah dengan
mengasimilasikannya ke dalam skema yang cocok, yakni untuk membentuk
hubungan antara ide-ide, fakta atau prosedur yang berlaku umum. Ini
adalah proses yang dinamis dan tidak statis. Sebuah konsep dibangun
dengan mengumpulkan data, kemudian menghubungkannya dengan konsep-konsep
lain untuk menciptakan konsep yang jauh lebih kompleks. Skemp (1979)
membedakan pemahaman menjadi tiga kategori yaitu pemahaman instrumental,
relasional dan logis.
Pemahaman Instrumental
Pemahaman Instrumental adalah kemampuan
untuk menerapkan aturan yang sesuai untuk solusi dari masalah tanpa
mengetahui alasan mengapa aturan itu dapat bekerja. Dengan kata lain
kita tahu “bagaimana” tapi tidak tahu “mengapa”. Pemahaman Instrumental
misalnya diterapkan pada konsep menghitung rata-rata yakni hanya dengan
mengetahui aturan komputasi dalam menghitung rata-rata dari serangkaian
angka. Dalam penelitian ini istilah pemahaman instrumental, pengetahuan
komputasi, kemampuan komputasi, keterampilan komputasi, keterampilan
prosedural dan pengetahuan prosedural digunakan bergantian saat mengacu
pada pemahaman instrumental. Skema yang dibentuk oleh pemahaman
instrumental merupakan pengetahuan jangka pendek, paling cepat dan acquirable dimana jawaban yang benar dapat diberikan.
Pemahaman Relasional
Pemahaman Relational adalah kemampuan
untuk menyimpulkan aturan atau prosedur khusus dari konsep matematika
yang umum. Singkatnya, kita tahu tentang “bagaimana” dan “mengapa”.
Dalam penelitian ini, istilah pemahaman relasional, pemahaman
konseptual, dan pengetahuan konseptual digunakan bergantian namun tetap
mengacu pada pemahaman relasional. Proses pengembangan skema relasional
merupakan tujuan dari pembelajaran relasional. Di awal, siswa mungkin
baru menemukan konsep, dan tujuan pemahaman relasional ini adalah
menghubungkannya dengan skema yang tepat (relasional). Tujuan yang ingin
dicapai dalam hal ini setara dengan pemahaman relasional, dan dalam
prosesnya nanti skema tersebut telah mengalami pengembangan lebih
lanjut. Tujuan lainnya adalah untuk menyimpulkan metode untuk masalah
khusus, maupun aturan tertentu dalam tugas yang diberikan kepada siswa.
Jika siswa sudah berada dalam proses ini, maka itu adalah bukti bahwa
mereka telah ada pada tahap pemahaman relasional. Pemahaman Korelasional
juga bertujuan untuk meningkatkan skema yang ada, membuat mereka lebih
kohesif dan terorganisir sehingga nantinya lebih efektif untuk mencapai
tujuan pertama dan kedua.
Sayangnya, akhir-akhir matematika proses
belajar mengajar telah mengalami tren mengkhawatirkan. Banyak siswa
yang telah menggunakan metode yang salah dalam proses pembelajaran
matematika. Mereka berpikir bahwa pembelajaran matematika dengan
menghafal aturan dan mengganti angka ke dalam rumus yang dipilih adalah
cara yang benar. Selain itu, matematika dikatakan subjek mana satu
diperlukan untuk memberikan jawaban yang salah atau benar (Miller,
1992).
Berdasarkan alasan ini, maka tidak ada
lagi yang tidak biasa untuk menemukan siswa yang menggunakan prosedur
tanpa memahami konsep di belakang mereka atau mereka yang memahami
sedikit dari konsep di balik setiap prosedur yang digunakan (Hiebert
& Lefevre, 1986). Menurut Borasi dan Rose (1989) hanya beberapa
siswa berharap untuk belajar matematika bermakna dan hanya sejumlah
kecil siswa melihat matematika sebagai membutuhkan pemikiran kreatif.
Akibatnya, banyak siswa sering puas dengan manipulasi simbol dan rutin
pemecahan masalah tanpa mencapai pemahaman yang mendalam mengenai
prosedur konsep atau solusi untuk topik.
Anehnya, bahkan dengan sikap ini ada
siswa yang mencapai nilai tinggi dalam matematika. Tapi mereka harus
tahu bahwa nilai tinggi hanya untuk jangka pendek karena nilai tersebut
tidak membantu dalam mengembangkan konsep-konsep matematika atau
kemampuan pemecahan masalah yang diperlukan untuk sukses jangka panjang
dalam matematika (Borasi & Rose, 1989).
Dari perhatian yang lebih besar kepada
para guru adalah bahwa sikap ini terbawa oleh mahasiswa ke perguruan
tinggi atau tingkat universitas. Gordon (1997) menemukan bahwa banyak
mahasiswa memiliki pemahaman yang lemah konsep-konsep matematika, dan
bahwa siswa yang lemah dalam aljabar di sekolah menengah atas tidak
hanya lemah dalam matematika tetapi juga memiliki sikap negatif terhadap
subjek. Siswa-siswa hanya menghafal algoritma atau prosedur dan tidak
mengerti makna di balik prosedur yang digunakan (Gordon, ibid). Bahkan
beberapa siswa tidak menyadari ada makna dalam matematika dan bahwa
konsep ada untuk setiap prosedur yang diterapkan. Mereka percaya bahwa
pemecahan masalah matematika berarti untuk menjalankan operasi yang
menggunakan simbol-simbol tanpa makna